BANTEN|sergap24.com – Provinsi Banten resmi berdiri pada 4 Oktober 2000, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten. Pemekaran dari Provinsi Jawa Barat kala itu lahir dari aspirasi masyarakat Banten yang menginginkan otonomi daerah demi pengelolaan potensi wilayah yang lebih baik. Harapannya jelas: pelayanan publik meningkat, pembangunan lebih merata, dan kesejahteraan masyarakat lebih terjamin.
Namun, setelah 25 tahun berdiri, wajah Banten justru menampilkan potret yang paradoksal. Alih-alih bergerak gesit layaknya anak muda yang penuh semangat, Provinsi ini kerap disamakan dengan “orang tua renta” yang melangkah tersendat—maju mundur tanpa arah.
Sejak awal, Banten didesain untuk keluar dari bayang-bayang Jawa Barat. Tetapi fakta di lapangan berbicara lain. Indikasi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Ironisnya, hal itu seakan menjadi wajah asli birokrasi di Banten: mengakar, berganti, tapi tak pernah benar-benar hilang.
“Seharusnya di usia 25 tahun, semangat Banten seperti pemuda yang berani menantang zaman. Tapi kenyataannya, provinsi ini justru terlihat melemah,” kritik Pergerakan Pemuda Peduli Banten (P3B) yang menilai jalannya pemerintahan saat ini tak sesuai dengan cita-cita awal berdirinya Provinsi Banten.
Gubernur Andra Soni dan Wakil Gubernur Dimyati Natakusumah saat kampanye membawa misi besar: memperkokoh iman dan takwa, melawan korupsi, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menguatkan SDM, serta membangun pemerataan pembangunan.
Namun, hampir satu tahun kepemimpinannya, arah pembangunan Banten dinilai tak kunjung jelas. Program-program yang digaungkan lebih terasa seperti layang-layang yang kehilangan angin: tinggi di ucapan, rendah di implementasi.
“Jangan terlalu besar membangun pencitraan seolah uang pembangunan berasal dari kantong pribadi. Faktanya, itu uang rakyat, dari APBD dan APBN, yang merupakan amanah demokrasi. Jadi jangan sekali-kali membohongi publik,” tegas P3B.
Kritik lain yang mengemuka adalah soal praktik politik pragmatis yang lebih menonjol ketimbang sistem pemerintahan yang ideal. Menurut P3B, politik kerap dijadikan pijakan utama ketimbang pelayanan dan pembangunan nyata.
“Yang penting ABS – Asal Bapak Senang. Bahkan kalimat penguatan Ideologi Pancasila hanya dijadikan alat politik belaka untuk merebut kekuasaan. Implementasinya bukan memperkokoh ideologi bangsa, melainkan memperkuat politik transaksional,” tambahnya.
Padahal, secara geografis, Banten memiliki posisi strategis. Bertetangga langsung dengan Jakarta—pusat pemerintahan dan ekonomi Indonesia—seharusnya menjadi modal untuk berkembang pesat. Namun kenyataan menunjukkan Banten masih tertinggal, bahkan dalam beberapa sektor justru stagnan.
“Jika sistem pemerintahan hanya dijalankan dengan kepentingan politik, jangan pernah berharap Banten akan menjadi provinsi otonom yang maju sesuai harapan rakyat ketika berpisah dari Jawa Barat,” tutup P3B dalam pernyataan sikapnya.
Hari ini, 1 Oktober, bertepatan pula dengan Hari Kesaktian Pancasila. Sebuah momentum refleksi. P3B menyerukan agar HUT Banten ke-25 bukan hanya dirayakan dengan seremoni, tetapi dijadikan titik balik untuk mengevaluasi arah pembangunan.
“Salam Pergerakan! Salam Hari Kesaktian Pancasila! Salam HUT ke-25 Provinsi Banten! Semoga bukan sekadar usia, tapi benar-benar menjadi babak baru Banten menuju kemajuan.”(Tim/red)
Comment