PANDEGLANG|sergap24.com – Polemik pelayanan pasien BPJS kembali mencoreng wajah pelayanan kesehatan di Kabupaten Pandeglang. Kasus terbaru dialami Kasa, warga Desa Sumurlaban, Kecamatan Angsana, yang mendapat perlakuan tidak adil dari pihak RSUD Aulia Pandeglang.
Kasa diketahui masuk perawatan usai Dzuhur. Namun, sekitar pukul 20.00 WIB, ketika keluarga meminta pasien pulang, pihak rumah sakit justru menahan dengan dalih pasien menderita penyakit parah. Ironisnya, menurut keterangan keluarga, pihak RSUD menyampaikan bahwa jika pasien tetap bersikeras ingin pulang, maka status pembiayaan otomatis berubah menjadi pasien umum, bukan lagi BPJS—padahal sejak awal Kasa resmi masuk menggunakan jalur BPJS Kesehatan.
Dugaan manipulasi status pasien ini jelas mencoreng amanah pelayanan kesehatan publik. Pasalnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, setiap peserta berhak mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis tanpa diskriminasi. Bahkan, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara tegas menyatakan bahwa pelayanan kesehatan adalah hak setiap warga negara, dan rumah sakit wajib memberikan pelayanan yang aman, bermutu, dan non-diskriminatif.
Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menegaskan bahwa fasilitas kesehatan tidak boleh menolak peserta BPJS maupun memutus hak pesertanya secara sepihak. Jika benar RSUD Aulia melakukan praktik tersebut, maka tindakan itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dan maladministrasi serius.
Menanggapi hal itu, Ketua Gabungannya Wartawan Indonesia (GWI) DPC Kabupaten Pandeglang, Raeynold Kurniawan, angkat bicara dalam konferensi pers yang digelar Jumat (03/10/2025).
“Ini jelas bentuk arogansi dan pelecehan terhadap hak rakyat kecil. BPJS Kesehatan itu hak masyarakat, dijamin undang-undang, bukan barang dagangan yang bisa dipermainkan oleh pihak rumah sakit,” tegas Raeynold di hadapan awak media.
Raeynold juga menyoroti potensi praktik kotor yang merugikan rakyat. “Kalau benar pasien dipaksa harus bayar umum hanya karena ingin pulang, ini bukan sekadar maladministrasi. Ini indikasi adanya penyimpangan serius yang bisa masuk ranah pidana. Kami minta Dinas Kesehatan dan BPJS segera turun tangan, audit, dan usut tuntas kasus ini,” tambahnya.
Lebih jauh, GWI memperingatkan manajemen RSUD Aulia Pandeglang agar tidak lagi mempermainkan rakyat kecil. “Masyarakat miskin sudah cukup susah mencari nafkah. Jangan sampai rumah sakit milik pemerintah yang seharusnya menjadi benteng pelayanan malah berubah menjadi ladang bisnis yang mencekik rakyat,” pungkasnya.
1. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 190 ayat (1): Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan pelayanan kesehatan dalam keadaan darurat dapat dipidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta.
2. UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, Pasal 55: Fasilitas kesehatan yang menolak peserta BPJS dapat dikenai sanksi administratif hingga pemutusan kerja sama dengan BPJS.
3. Permenkes No. 4 Tahun 2018 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien, Pasal 2 ayat (1): Rumah sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis pasien tanpa diskriminasi. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenai sanksi administratif, pencabutan izin, hingga gugatan perdata dari pasien/keluarga pasien.
Hingga berita ini diturunkan, pihak RSUD Aulia Pandeglang belum terkonfirmasi. Publik kini menunggu, apakah rumah sakit ini berani jujur dan terbuka memberikan klarifikasi, atau justru memilih bersembunyi di balik alasan birokrasi.
Karena jika dugaan ini benar, maka RSUD Aulia Pandeglang bukan lagi layak disebut rumah sakit, melainkan rumah bisnis yang tega menjual hak rakyat kecil atas nama kesehatan.”(Tim/red)
Comment