LEBAK|sergap24.com — Senin (6/10/2025) Aroma busuk kekuasaan kembali tercium dari akar pemerintahan desa. Kali ini, Kepala Desa Sindangratu, Kecamatan Panggarangan, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, bernama Mpud Mahpudin, diduga bertindak arogan, melecehkan profesi wartawan, dan menghalangi tugas jurnalistik.
Peristiwa memalukan itu sontak menuai kecaman keras dari berbagai organisasi pers di Banten.
Kejadian bermula ketika Bahrudin, wartawan Justic-Epost.com, datang ke kantor Desa Sindangratu untuk menjalankan tugas jurnalistik. Namun, alih-alih disambut secara terbuka sebagaimana prinsip pemerintahan yang transparan, Bahrudin justru diusir secara kasar oleh sang kepala desa, bahkan handphone-nya disita oleh perangkat desa atas perintah langsung kades.
“HP saya disita sama perangkat desa bernama Didin, katanya atas perintah kades. Saya gak sempat rekam karena HP diambil. Ya, saya diusir langsung oleh kadesnya,” ungkap Bahrudin dengan nada kecewa.
Tindakan yang dilakukan oleh Kades Sindangratu jelas melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pasal-pasal yang dilanggar sangat terang:
Pasal 4 Ayat (3): Pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.
Pasal 8: Wartawan mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya.
Pasal 18 Ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja menghambat tugas jurnalistik dipidana paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Tak hanya itu, tindakan penyitaan HP milik wartawan tanpa dasar hukum dapat dijerat Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dan Pasal 406 KUHP tentang perusakan atau penguasaan barang secara melawan hukum.
Artinya, oknum kades tersebut tak hanya melecehkan profesi wartawan, tapi juga berpotensi dijerat pidana.
Gabungan Organisasi Wartawan Indonesia (GOWI) yang terdiri dari Gabungnya Wartawan Indonesia (GWI), Media Online Indonesia (MOI), dan Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI) DPC Kabupaten Pandeglang menyatakan sikap keras dan mendesak aparat hukum segera turun tangan.
Raeynold Kurniawan, Ketua GWI DPC Kabupaten Pandeglang, menegaskan bahwa tindakan kepala desa tersebut merupakan pelecehan terhadap marwah pers dan penistaan terhadap undang-undang negara.
“Kami tidak akan tinggal diam. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi tindakan kriminal. Kami akan layangkan surat resmi ke DPMD Lebak, minta agar kades Sindangratu dipanggil dan diperiksa. Kalau perlu, kami kawal sampai ke meja hukum. Lo jual, kami borong!” tegas Raeynold.
Sementara itu, H. Imron, pengurus Media Online Indonesia (MOI) DPC Kabupaten Pandeglang, juga mengecam keras perilaku arogan tersebut.
“Seorang kepala desa seharusnya jadi pelayan masyarakat, bukan penguasa yang menindas. Mengusir wartawan berarti melawan hukum dan mencoreng kebebasan pers. Kami minta aparat hukum jangan diam!” ujarnya.
Nada yang sama dilontarkan Jaka Somantri, Sekretaris Jenderal Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI) DPC Kabupaten Pandeglang.
Menurutnya, tindakan kades tersebut sudah mencederai semangat demokrasi dan keterbukaan publik yang dijamin oleh konstitusi.
“Kami, dari AWDI, tidak akan tinggal diam. Kami mendesak DPMD Lebak, Polres Lebak, dan Kejari Lebak untuk turun tangan. Ini bukan kasus sepele, ini serangan terhadap profesi wartawan dan kebebasan pers. Jangan sampai arogansi seperti ini menular ke desa lain,” tegas Jaka.
Kasus ini menimbulkan banyak tanda tanya di kalangan publik dan sesama jurnalis.
Apa sebenarnya yang disembunyikan oleh Kepala Desa Sindangratu hingga begitu takut terhadap liputan media?
Apakah ada persoalan di tubuh pemerintahan desa yang ingin ditutup rapat-rapat?
Sikap anti transparansi itu justru menimbulkan kecurigaan besar.
Beberapa warga pun mulai bersuara.
“Kalau bersih kenapa takut diliput? Wartawan datang bukan mau cari masalah, tapi mau mencari kebenaran,” ujar salah satu warga.
Kebebasan pers adalah roh demokrasi.
Menghalangi kerja wartawan sama saja menutup akses masyarakat terhadap kebenaran.
Tindakan Kepala Desa Sindangratu bukan hanya arogansi jabatan, tetapi juga penghinaan terhadap hukum dan hak publik untuk tahu.
Kini, semua mata tertuju pada DPMD Lebak dan penegak hukum setempat — apakah berani menegakkan keadilan, atau justru membiarkan arogansi kekuasaan merajalela di tingkat desa.”(Tim/red)
Comment