PANDEGLANG|sergap24.com — Di sudut barat Pulau Jawa, tepatnya di Kecamatan Patia, Kabupaten Pandeglang, terdapat potret kehidupan yang jarang tersorot kamera dan tak ramai diperbincangkan di ruang-ruang kebijakan. Di sanalah, sekitar 50 guru honorer mengabdikan diri tanpa pamrih, mengisi ruang-ruang kelas dengan ilmu dan semangat meski diganjar upah yang jauh dari kata layak. Mereka adalah wajah nyata dari dedikasi yang selama ini terlupakan.
Kasman, Ketua Jurnalis Banten Bersatu (JBB), yang dengan nurani dan keberanian mengangkat suara-suara yang selama ini dibungkam sistem. Melalui kerja jurnalistik yang berintegritas dan advokasi sosial yang konsisten, ia menjadikan isu guru honorer Patia sebagai panggilan moral, bukan sekadar berita sesaat.
“Mereka bukan sekadar guru, mereka adalah benteng terakhir pendidikan di daerah tertinggal. Tapi apa balasan negara? Bahkan untuk sekadar diangkat menjadi PPPK pun mereka harus bersaing dengan bayang-bayang nepotisme,” ujar Kasman dengan nada getir namun tegas.
Realitas Pahit di Pelosok Negeri di Patia, guru honorer mengajar di kelas dengan dinding bambu dan lantai tanah. Mereka berjalan kaki atau naik motor tua menembus medan yang tak selalu bersahabat. Namun, semangat mereka tak pernah surut. Mereka tak menuntut istimewa—mereka hanya ingin diakui.
Harapan itu kerap kandas di meja birokrasi. Proses seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang seharusnya menjadi jalan pengangkatan yang adil dan transparan, justru dituding sarat dengan praktik nepotisme dan manipulasi data. Banyak guru honorer yang telah belasan tahun mengabdi justru tersingkir, digantikan oleh “guru titipan” yang baru muncul di tahun-tahun politik.
“Kami bukan menolak orang lain untuk diangkat. Tapi tolong, jangan singkirkan kami hanya karena kami tak punya ‘orang dalam’,” keluh seorang guru honorer yang telah mengajar tahunan.
Ketua JBB, Kasman mulai menyuarakan ketimpangan ini ke publik. Ia menggalang dukungan dari masyarakat, tokoh pendidikan, hingga lembaga-lembaga pengawasan publik. Tak hanya menyampaikan fakta, ia merangkum suara hati para guru dalam laporan jurnalistik yang bernyawa dan menggerakkan.
“Negara tak boleh memelihara kebijakan yang membunuh keadilan. Jika pendidikan dibangun di atas fondasi manipulasi, maka apa jadinya generasi masa depan kita?” kata Kasman lantang dalam salah satu forum diskusi publik.
Tentu perjuangan ini tidak berjalan mulus. Kasman dan rekan-rekan jurnalisnya terus menyuarakan aspirasi. Namun bagi mereka, keadilan bukan pilihan—ia adalah kewajiban.
Kini, kisah para guru honorer di Patia mulai terdengar di luar batas desa mereka. Suara mereka, yang dulu hanya bergaung di ruang kelas sederhana, kini menggema di forum-forum kebijakan dan media lokal. Mereka tak lagi hanya menjadi objek penderita dari sistem, tetapi subjek perjuangan yang layak diperjuangkan.
Mereka tidak menuntut belas kasihan. Mereka hanya meminta keadilan: diakui, dihargai, dan diberi kesempatan yang sama untuk diangkat sebagai ASN atau PPPK—tanpa harus bertekuk lutut pada relasi kekuasaan atau praktik titipan.
Pena Sebagai Senjata Perubahan, Kasman telah membuktikan bahwa dalam sunyi, masih ada yang berani bersuara. Dalam gelap, masih ada cahaya dari pena jurnalis yang setia pada nurani. Ia bukan hanya menulis berita—ia menulis ulang sejarah, memperjuangkan agar negeri ini tidak buta pada mereka yang selama ini diam namun berjasa.
“Jurnalisme yang sejati bukan sekadar menyampaikan apa yang terjadi, tetapi menyoroti apa yang selama ini disembunyikan,” pungkasnya.
Kisah 50 guru honorer di Patia bukan hanya kisah tentang keterpinggiran, melainkan kisah tentang keberanian. Mereka tetap berdiri di depan kelas, bukan karena mereka tidak punya pilihan lain, tetapi karena mereka percaya bahwa ilmu adalah cahaya—dan mereka memilih menjadi pelita.
Di tengah arus besar nepotisme dan ketidakadilan, suara dari pelosok Patia adalah pengingat bahwa keadilan tak boleh hanya milik mereka yang bersuara lantang—tapi juga milik mereka yang selama ini memilih diam, namun penuh dedikasi.”(Tim/red)
Comment