WNMNews.TV, JAKARTA – Ketua Umum gerakan Nasional Pencegahan Korupsi Republik Indonesia (GNPK-RI) HM. Basri Budi Utomo menegaskan, jangan sampai aparat hukum dalam menjalankan proses pelayanan kepada masyarakat malah melakukan diskriminasi. Basri menyoroti tindakan Ubedilah Badrun, yang melaporkan kedua anak Presiden Jokowi, Gibran dan Kaesang kepada KPK merupakan wujud peran serta masyarakat yang sah dan pelaksanaannya dijamin serta dilindungi konstitusi UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.
HM. Basri Budi Utomo, S.IP menegaskan bahwa tindakan Ubedilah Badrun (Dosen UNJ) yang melaporkan dua anak Presiden Indonesia, Ir. Joko Widodo yakni Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep kepada KPK pada hari Senin Tanggal 10 Januari 2022, terkait dugaan tindak pidana pencucian uang dan/atau dugaan tindak pidana korupsi, merupakan bentuk peran serta masyarakat yang pelaksanaannya dijamin dan dilindungi UUD 1945 dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
“Tidak boleh ada diskriminasi, pelapor dugaan tindak pidana korupsi, merupakan bentuk peran serta masyarakat yang pelaksanaannya dijamin dan dilindungi UUD 1945 dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Penghentian perkara harus ada alasan yang jelas dan obyektif, tidak boleh dilakukan tanpa alasan yang sesuai hukum,” ujar Basri. Senin (17/01/22).
Basri menekankan, laporan yang dilakukan Ubedilah masih bersifat dugaan. Menurutnya, unsur delik hukum atas laporan tersebut masih belum memiliki bukti. Dan KPK yang menerima pengaduan melakukan verifikasi, apakah pengaduan tadi memenuhi syarat atau tidak untuk ditindak lanjuti.
“Jadi belum ada kualifikasi sebagai delik hukum, karena yang dilaporkan masih sebatas informasi awal, temuan awal dari sang pelapor. Belum ada unsur delik hukumnya. Apa yang dilaporkan Ubedilah itu merupakan pengaduan masyarakat, yang menemukan suatu informasi kemudian melaporkannya. Hal ini, disebutnya, memang merupakan persoalan legal standing, yang kemudian akan dinilai KPK, apakah pengaduan tadi memenuhi syarat untuk dikualifikasikan sebagai laporan yang harus ditindaklanjuti atau tidak.” .” Tandas Basri.
Tentunya KPK tidak bisa menolak orang yang mengadu dan melaporkan. Namun, KPK punya kewenangan untuk memverifikasi atas hasil kualifikasi laporan itu. Sekarang KPK-lah yang menentukan atas laporan itu dapat ditindak lanjuti atau tidak.
Untuk pelaporan balik terhadap Ubedilah, Basri berpendapat bahwa Polisi harus selektif menerima laporan pengaduan, dia juga meminta agar Polisi perlu melakukan verifikasi apakah laporan dapat ditindaklanjuti atau tidak, dan apakah memang ada peristiwa pidananya atau tidak.
Polisi punya kewenangan untuk menilai apakah pihak yang dilaporkan gara-gara melaporkan tindak pidana korupsi itu dapat dikategorikan telah melakukan sebuah tindakan pidana, sesuai dengan konsep presisi, polisi harus benar-benar objektif menilai atas laporan baik tersebut. Sehingga tidak kontradiktif terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Di sisi yang lain sebagai upaya membangun sebuah kecermatan dalam menyampaikan sebuah laporan, Basri memaparkan, setiap pelapor dugaan tindak pidana korupsi adalah wujud peran serta masyarakat dalam melaksanakan hak dan tanggungjawab yang diberikan undang-undang untuk turut melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dan/atau tindak pidana pencucian uang, yang pelaksanaannya dijamin dan dilindungi konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UU No.9 Tahun 1998 jo Pasal 8 dan Pasal 9 UU No.28 Tahun 1999 jo Pasal 41 dan Pasal 42 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 jo UU No.14 Tahun 2008 jo UU No.25 Tahun 2009 jo UU No.13 Tahun 2006 jo UU No.31 Tahun 2014 jo UU No.17 Tahun 2013 jo UU No.16 Tahun 2017 jo PP No.68 Tahun 1999 jo PP No.61 Tahun 2010 jo PP No.43 Tahun 2018.
“Silahkan simak dan pelajari dengan seksama pasal demi pasal dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas, agar tanggapan yang disampaikan obyektif sebagaimana norma-norma hukum yang berlaku.” Terang Basri.
Menurut Basri, tentunya masyarakat membutuhkan kepastian hukum yang berkeadilan. Sesuai konsepsi presisi, setiap penanganan perkara harus prediktif, responsibilitas dan transparan berkeadilan.
“Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang harus dilawan, dicegah dan diberantas dengan cara luar biasa, sehingga siapapun yang memimpin negeri ini dipastikan tidak akan mampu membunuh virus korupsi yang terus merasuk kedalam tubuh para penyelenggara negara sipil dengan militer, kecuali Presiden punya nyali dan berani mengintruksikan jajarannya untuk menerapkan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, sebaliknya kalau Presiden tidak punya nyali untuk menginisiasi agar hukuman mati dapat diterapkan, maka negeri ini dipastikan tidak akan pernah bisa bersih dan bebas dari korupsi, kecuali koruptor dihukum mati, selain hukum mati omong kosong.” Pungkas Basri.
GNPK-RI mengkaji perlindungan terhadap “Whistleblower” pada Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, bahwa bentuk perlindungan terhadap whistleblower pada tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan apa yang menjadi hambatan atau kendala perlindungan terhadap whistleblower oleh LPSK Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Secara yuridis normatif, disimpulkan bahwa di Indonesia bentuk perlindungan yang diberikan kepada whistleblower berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu, Perlindungan Secara Fisik dan Psikis (Pasal 5); Melindungi whistleblower dari serangan ancaman terhadap dirinya maupun keluarganya baik secara fisik maupun psikis.
Kemudian perlindungan Hukum (Pasal 10); Perlindungan hukum dapat berupa kekebalan yang diberikan kepada pelapor dan saksi untuk tidak dapat digugat secara perdata atau dituntut secara pidana sepanjang yang bersangkutan memberikan kesaksian atau laporan dengan itikad baik.
Dan apabila whistleblower dituntut balik oleh terlapor maka tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputuskan pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selain itu pengurangan hukuman juga dapat diberikan kepada whistleblower, dalam memberikan perlindungan terhadap whistleblower (pelapor tindak pidana), seringkali Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengalami beberapa hambatan atau kendala. secara umum terdapat beberapa permasalahan yang diidentifikasi sebagai titik kelemahan Undang-Undang perlindungan Saksi dan Korban.
Diantaranya yaitu, Kendala Terhadap Peraturan Perundang-undangan, Kendala Kelembagaan, serta Kendala Kerjasama antar Lembaga. Namun, keinginan publik ini tergerus oleh suatu situasi ketiadaan perlindungan yang memadai ketika masyarakat aktif melaporkan kasus korupsi.
Secara garis besar ada tiga problem mendasar, pertama, fakta tentang konsekuensi yang diterima ketika melaporkan kasus korupsi, kedua, tidak mengetahui di mana akan melapor beserta prosedurnya dan ketiga, pesimistis ada tindak lanjut atas laporan itu.
Pasca perubahan UU No 13/ 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban melalui UU No31/2014, keberadaan pelapor menjadi sangat penting sebagai salah satu aktor pengungkapan tindak pidana sebab sebelumnya, UU tidak secara tegas mengatur mengenai perlindungan yang diberikan kepada pelapor layaknya perlindungan yang diberikan kepada saksi dan korban tindak pidana.
Jika merujuk pada KUHAP keberadaan pelapor sebetulnya telah diakui secara implisit sebagai salah satu subjek terkait dengan laporan adanya peristiwa pidana. Pasal 1 angka 24 KUHAP menyebutkan, “Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan UU kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.”
Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara terang dan jelas memberikan hak kepada masyarakat untuk melaporkan tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah No 71/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Secara umum ada dua cakupan perlindungan yang diberikan kepada pelapor, yaitu perlindungan atas status hukum dan perlindungan atas rasa aman. Pertama, perlindungan atas status hukum berupa jaminan tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata atas laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali laporan itu diberikan tidak dengan iktikad baik (Pasal 10 UU 31/2014).
Dalam konteks perlindungan hukum ada ketidaksesuaian antara apa yang diatur di dalam PP 71/2000 dengan UU 31/2014. Di dalam PP disebutkan, ada dua kondisi, yakni perlindungan hukum tidak akan diberikan jika (i) berdasarkan hasil penyelidikan atau penyidikan terdapat bukti kuat keterlibatan pelapor atas tindak pidana korupsi yang dilaporkan.
Dan apabila terhadap pelapor dikenai tuntutan dalam perkara lain. Sementara di dalam UU 31/2014 secara jelas mewajibkan untuk menunda tuntutan hukum hingga kasus yang dilaporkan diputus oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun, UU juga memberi celah bagi terjadinya risiko hukum bagi pelapor ketika laporan disampaikan tidak dengan iktikad baik.
Di dalam penjelasannya disebutkan bahwa, ‘tidak dengan iktikad baik’ dimaksudkan berupa tindakan memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan pemufakatan jahat. Kesimpulannya, perlindungan hukum tidak utuh diberikan kepada pelapor korupsi.
Masih ada peluang bagi terjadinya risiko hukum bagi pelapor baik yang berasal dari pihak yang dilaporkan, biasanya pelapor akan dilaporkan kembali kepada penegak hukum karena melakukan pencemaran nama baik, dan seterusnya. Selain itu, peluang ini juga datang dari penyalahgunaan diskresi yang terlalu besar diberikan kepada penegak hukum untuk menilai sebuah laporan dilakukan dengan iktikad baik atau tidak dengan iktikad baik. Kedua, perlindungan atas rasa aman.
Secara normatif, perlindungan atas rasa aman sebetulnya sudah cukup jika dilaksanakan menurut ketentuan UU. Namun, dalam praktiknya, kebijakan di level institusi tidak selalu sesuai dengan standar yang diatur di dalam UU. Akibatnya dalam kasus tertentu, identitas pelapor kasus korupsi terkadang malah tersebar luas kepada publik.
Faktanya, isu tren ancaman terhadap pelapor masih sangat tinggi, khususnya terhadap pengungkapan kasus korupsi. Hal ini mengonfirmasi bahwa salah satu problem mendasar untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi ialah minimnya perlindungan hukum yang diberikan.
Maka, dari sisi regulasi masih perlu diperbaiki, baik di level UU maupun aturan teknis lainnya. Tantangan berikutnya, bagaimana memastikan setiap institusi menerapkan standar sama atas perlindungan terhadap pelapor korupsi, baik yang berasal dari masyarakat umum maupun internal institusi.
Harapannya, melalui penguatan instrumen bagi pelapor korupsi akan terjadi percepatan penurunan tingkat korupsi dalam skala nasional sehingga perbaikan yang dilakukan lembaga publik juga diimbangi dengan pengawasan yang memadai dari masyarakat.
Alasan Ubedilah Melaporkan Gibran
Ubedilah mengatakan, pelaporan itu muncul bermula pada 2015 ketika ada perusahaan, yaitu PT SM yang menjadi tersangka pembakaran hutan dan sudah dituntut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) senilai Rp 7,9 triliun. Namun, dalam perkembangannya, Mahkamah Agung hanya mengabulkan tuntutan senilai Rp 78 miliar.
“Itu terjadi pada Februari 2019 setelah anak Presiden membuat perusahaan gabungan dengan anak petinggi perusahaan PT SM,” ujar Ubedilah.
Ia mengatakan dugaan KKN tersebut terjadi berkaitan dengan adanya suntikan dana penyertaan modal dari perusahaan ventura, yang jelas dan bisa dibaca oleh publik. Alasannya tidak mungkin perusahaan baru anak Presiden mendapat suntikan dana penyertaan modal dari sebuah perusahaan ventura.
“Setelah itu, anak Presiden membeli saham di sebuah perusahaan dengan angka yang juga cukup fantastis Rp 92 miliar, dan itu bagi kami tanda tanya besar,” ujar Ubedilah.
Ubedilah Badrun juga mempertanyakan, apakah seorang anak muda yang baru mendirikan perusahaan dapat dengan mudah mendapatkan penyertaan modal. “Apalagi angkanya cukup fantastis, dari mana kalau bukan karena anak Presiden.” [Eka].
Comment