WNMNews.TV, BANDAR LAMPUNG – Maraknya Penyelengara Negara melakukan tindak pidana korupsi menorehkan raport merah yang titah kerjanya tunduk pada aturan hukum.
Rifandy Ritonga, Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Perundang-Undangan Universitas Bandar Lampung (PSKP-UBL) memberikan pandangan dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur seperti perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
“Pengertian korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Ada 30 delik tindak pidana korupsi yang dikategorikan menjadi 7 jenis.” Ujar Rifandy. Senin (17/01/22).
Rifandy yang juga aktif sebagai akademisi anti korupsi mengatakan, “Korupsi sekarang ini banyak dikaitkan dengan politik, ekonomi, kebijakan pemerintahan dalam masalah sosial maupun internasional, serta pembangunan nasional.”
Dalam satu kesempatan Forum Diskusi yang diselengarakan L-SAKA Rifandy mengatakan “Kerugian keuangan negara, penyuapan, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, kecurangan, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, serta gratifikasi.”
Oleh karena itu Rifandy, Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Perundang-Undangan Universitas Bandar Lampung (PSKP-UBL) mengkaji penyebab mengapa Kepala Daera/Penyelengara Negara di daerah melakukan Korupsi.
Dalam pemaparannya, penyebab utama korupsi adalah karakter moral dan mental yang rendah dari penyelenggara negara/Kepala Daerah yang menormalkan perilaku korupsi, dan munculnya cela untuk melakukan korupsi, selain itu lemahnya penegakan hukum dengan hukuman yang ringan tidak menimbulkan efek jera.
Rifandy menegaskan “Jika korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa harusnya Hukum yang diterapkan juga harus super luar biasa, nyatanya tidak kita lihat hal yang super luar biasa itu, bahkan tidak jarang terpidan korupsi layaknya pangeran dan ratu mendapatkan fasilitas yang mewah di Hotel prodeo.”
Lanjut Rifandy, “Ketika korupsi tidak lagi dilihat sebagai kejahatan luar biasa, sistem yang dibangun tentu akan menjadi biasa-biasa saja, hal ini terbukti dari revisi UU KPK dan Penumpulan pada organ SDM yang ada di KPK. Hal ini menjadi momok menakutkan dari upaya masif pemberantasan korupsi yang semakin menormalkan perilaku abnormal tersebut.”
Sebenarnya secara tidak sadar tidak sepenuhnya salah penyelengara negara, andil kita juga sebagai masyarakat dimana sering kali kita pun, membiarkan atau bahkan melaksanakan perilaku koruptif, seperti memberikan tip/tanda terimakasih atas pelayanan yang kita terima, nampak kurang pas kalau tidak memberi, kadang itu yang kita pertontonkan.
Sifat seperti inilah yang menjadi habit, lubang kecil menjadi lubang besar untuk masuk pada perilaku korupsi penyelengara negara/Kepala Daerah. Selain itu, fenomena penempatan penyertaan modal Pemda di BUMD atau pihak ketiga dan pengelolaan aset daerah kadang luput dalam deteksi indikator penyebab Kepala Daerah berprilaku Korupsi.
“Rasa haus berkuasa, yang melebihi lebih besarnya rasa melayani masyarakat, dan biaya politik yang semakin tinggi, serta keinginan politik dinasti menjadi tuntutan peran untuk mengumpulkan modal politik, guna berkuasa lagi.” Ungkap Sekertaris Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara ini.
Dalam mengamati tindak pidana korupsi, setidaknya terdapat lima modus korupsi kepala daerah, yaitu intervensi dalam kegiatan belanja daerah mulai dari pengadaan barang dan jasa, penempatan dan pengelolaan kas daerah, pelaksanaan hibah dan bantuan sosial (bansos), pengelolaan aset, hingga penempatan modal pemda di BUMD atau pihak ketiga.
Kemudian faktor lainnya adalah, intervensi dalam penerimaan daerah mulai dari pajak daerah dan retribusi, pendapatan daerah dari pusat, sampai kerja sama dengan pihak lain.
Modus lainnya intervensi dalam perizinan mulai dari pemberian rekomendasi, penerbitan perizinan, sampai pemerasan.
Selain itu, benturan kepentingan dalam proses pengadaan barang dan jasa; rotasi, mutasi, promosi, dan rangkap jabatan; serta Penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang jabatan.
Terkait sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ) yang menjadi primadona Kepala Daerah untuk melakukan praktik korupsi, menjadi salah satu identifikasi berbagai titik rawannya.
Beberapa di antaranya, kelembagaan Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang tidak independen, Pokja ULP tidak permanen, Pelaksanaan PBJ yang tidak transparan, benturan kepentingan dalam pelaksanaan PBJ dan Sistem PBJ yang diretas oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. [Eka].
Comment