Sergap24.com, JATIM – Perjanjian ekstradisi merupakan perjanjian antarnegara dalam hal penyerahan tersangka atau terpidana yang ditahan di negara lain ke negara asalnya.
Segala hal mengenai ekstradisi, seperti pengertian, asas, syarat penahanan, dan lain-lain telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.
Indonesia dan Singapura akhirnya resmi menandatangani sebuah perjanjian ekstradisi di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (26/01/22). Perjanjian ekstradisi tersebut ditandatangani setelah diupayakan pemerintah Indonesia sejak 1998.

Menurut Adv. H. Surjono, S.H, M.H,. “Perjanjian itu disebut dapat mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas batas negara seperti korupsi, narkotika, dan terorisme.”
Dikutip langsung dari Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1979, berikut penjelasan pengertian ekstradisi:
Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.
Tidak hanya tentang koruptor, perjanjian ini dibuat sebagai bentuk kerja sama guna mengentaskan kejahatan lintas-batas seperti perdagangan narkoba, terorisme, perdagangan orang, penangkapan ikan illegal hingga kejahatan pencucian uang.
Sederhananya, ekstradisi adalah proses penyerahan tersangka atau terpidana yang ditahan di negara lain kepada negara asal tersangka tersebut, agar dihukum sesuai peraturan hukum yang berlaku di negara asal.
“Tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut perjanjian ekstradisi itu ada 31 jenis. Di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.” Terang Managing Law Firm Surjo & Partners. https://surjoadvokat.wordpress.com/
“Itu artinya, para koruptor, bandar narkoba hingga donatur aksi terorisme yang menjalan aksinya di Indonesia tidak bisa lagi bersembunyi di Singapura.” Tarang Advokat yang juga eksis sebagai Ketua Ormas GNPK-RI Pimpinan Wilayah Jawa Timur ini. Jum’at (28/01/22).
“Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura memiliki masa retroaktif yang berlaku surut terhitung tanggal diundangkannya atau berlaku selama 18 tahun ke belakang.” Jelasnya.
Dirinya mengungkap, “Hal tersebut, sesuai dengan ketentuan maksimal kedaluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.”
Di Indonesia sendiri, perjanjian Ekstradisi telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979.
Dalam pemaparannya, Adv. H. Surjono, S.H, M.H,. yang juga memberikan andil dalam kegiatan sosial Ambulance Gratis bagi masyarakat kurang mampu di Kota Malang menyebut, “Dalam perjanjian ekstradisi Indonesia – Singapura itu juga akan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia dalam melarikan diri. Pasalnya, Indonesia telah memiliki perjanjian dengan negara mitra sekawasan di antaranya Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, Republik Rakyat Tiongkok, dan Hong Kong SAR.”
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Yasonna H. Laoly menjelaskan bahwa, Indonesia berhasil meyakinkan Singapura untuk menyepakati perjanjian ekstradisi yang bersifat progresif, fleksibel, dan antisipatif terhadap perkembangan, bentuk dan modus tindak pidana saat ini dan di masa depan.
Yasonna H. Laoly, mengungkapkan, Perjanjian ekstradisi Indonesia–Singapura memungkinkan kedua negara melakukan ekstradisi terhadap pelaku tindak pidana yang meskipun jenis tindak pidananya tidak lugas disebutkan dalam perjanjian ini namun telah diatur dalam sistem hukum kedua negara.
Selain masa rektroaktif, perjanjian ekstradisi ini juga menyepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan.
Hal ini untuk mencegah privilege yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana guna menghindari proses hukum terhadap dirinya.
Indonesia dan Singapura sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara diminta dan dicari oleh negara peminta.
Hal itu, dilakukan untuk proses penuntutan, persidangan atau pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi. Perjanjian ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura.
Penandatanganan perjanjian ekstradisi dilakukan dalam Leaders’ Retreat, yakni pertemuan tahunan yang dimulai sejak 2016 antara Presiden Republik Indonesia dengan Perdana Menteri Singapura guna membahas kerja sama yang saling menguntungkan antara kedua negara. [Eka].
Comment