Aspek Politik semakin sulit dipisahkan dengan kebijakan BUMD di Indonesia. Sebuah keniscayaan, mengingat kepala daerah yang diputuskan dalam kontestasi politik, jelas mendorong adanya intervenai politik dalam perusahaan plat merah. Biasanya hampir di setiap daerah BUMD dikelola oleh aparat birokrat atau pihak luar yang memiliki hubungan erat dengan politik di daerah. Oesman Sapta Odang Mantan Ketua DPD RI pernah menyatakan hal tersebut, 2018 silam. Dan hal itu bukan menjadi rahasia umum lagi.
Alasan utama aspek politik, jelas bahwa pemegang saham pengendalinya adalah pemerintah daerah yang kemudian menunjuk orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Proses menunjuk seseorang menempati posisi di sebuah BUMD, pemimpin daerah terkadang, idak melakukannya secara professional, melainkan kerap kali hanya berdasarkan aspek kedekatan. Disanalah aspek politik menjadi dominan, dibandingkan faktor kualitas dan profesionalitas sesuai standart regulasi.
Padahal sektor BUMD harusnya lebih bersifat ekonomi murni tanpa ada intervensi politik. Jikapun ada unsur politik, arahnya benar-benar menjaga kinerja BUMD dan pemerintahan,
Sayangnya, sejauh ini, hanya karena unsur politis yang terlalu kental, BUMD tidak bisa menghasilkan pembagian laba yang cukup untuk membantu kinerja keuangan daerah. Padahal bila kinerja keuangan daerah tidak bagus, kredibilitas pemimpin daerah juga dipertaruhkan. Jika kinerja BUMD Buruk, maka kualitas kepala daerah juga dipertanyakan reputasinya.
Kondisi anprofesional lainnya , adalah fungsi utama BUMD yang dibentuk untuk melayani publik alias public service obligation (PSO), justru sering diabaikan karena desakan profit dan Citra Politik. Terkadang karena alasan tekanan politik, acapkali BUMD harus dipaksa merugi dengan menjual barang dan jasa dibawah harga keekonomian. Bahkan kompromi dengan hal2 yang bersifat aturan baku (regulasi).
Pemerintah daerah Diharapkan memberi perhatian lebih kepada BUMD supaya lebih berdaya tanpa harus ada intervensi terlalu dominasi dari aspek politik. Contoh teraktual adalah, jika suatu BUMD masih kecil profitnya, jangan lantas dipaksa bergerak normal. Pasalnya, jika dipaksa, maka secara psikologis akan menghasilkan tekanan-tekanan sosial, dan jika implikasi sosial dihindarkan, maka keuangan daerah sendirilah yang ujungnya harus terbebani tambahan subsidi, dalam bentuk penyertaan.
Sementata Pada konteks monopoli pengelolaan , sebenarnya hak istimewa BUMD secara politik untuk memonopoli sektor tertentu, seharusnya dikonversi ke bentuk pelayanan dengan ukuran tertentu. Ironisnya selama ini, belum ada ukuran yang pasti kapan BUMD harus menjalankan fungsi Pelayanan dan kapan harus menjalankan fungsi profit. Terkadang kerap mencampur aduk menjadi satu sehingga tidak fokus. Padahal sebenarnya secara teknis hal tersebut bisa diatur secara proporsional. Jadi, bisa diketahui kapan BUMD harus profit dan kapan harus meningkatkan pelayanan kepada publik.
Situasi pelik BUMD karena intervensi politik mengakibatkan kerusakan2 pada struktur profesionalitas perusahaan. Tidak jarang akibat salah urus, kompensasi politik lebih diutamakan dibandingkan penyelesaian menajemen pada penerapan reward dan punishment. Situasi dilematis yang dialamai BUMD, ketika aspek politik jauh dominan. Hukum jadi tebang pilih.
Berdasarkan pertimbangan umum ini, maka sebaiknya pendekatan profesionalitas lebih dikedepankan dibandingkan aspek politik. Jika tetap terpelihara, maka BUMD akan menjadi simulasi keuntungan politik dan mengabaikan pelayanan, dengan hasil tanpa perubahan secara permanan.
Dampak paling berbahaya, jika BUMD yang dikelola menyangkut kepentingan orang banyak. Contoh yang sering mengemuka adalah BUMD PASAR. ****
Penulis. : Bagian Litbang DPD APPSI BITUNG
Comment