WNMNews.TV, JATIM – Ada faktor lain yang mengakibatkan korupsi tetap marak dalam sebuah sistem sosial. Faktor itu berkaitan dengan pemahaman yang keliru tentang kebaikan akan menghapus keburukan.
Ada orang-orang yang punya tafsir ala Robinhood, yang mencuri untuk beramal. Masalahnya, dalam kiprah Robinhood ada nilai emansipatoris dan keadilan. Sang hero mencuri dari orang kaya yang dianggap korup dan hasilnya dibagikan kepada kaum papa. Ini pun ditentang oleh sistem iman apa pun dan peradaban modern mana pun.
H. Surjono, S.H, M.H, selaku Pimpinan Kantor Advokat & Konsultan Hukum “SURJO & PARTNERS” yang beralamat Jl.Citandui 52 B Malang, menuturkan, “Namun, mencuri uang negara–yang sama artinya mencuri dari hak-hak anak yang kelaparan, orang melarat–tak bisa diimbangi dengan berbuat baik seperti apa pun.” Jum’at (07/01/21).
Lanjut H. Surjono, S.H, M.H,. Ia mendeskripsikan, dalam negara yang tinggi tingkat ketimpangan sosial ekonominya, menyadarkan akan betapa destruksinya korupsi, bisa dimulai dengan pemahaman bahwa banyaknya kemiskinan, busung lapar, perkampungan kumuh, rumah sakit yang miskin fasilitas serta gedung sekolah yang gampang ambruk adalah refleksi dari korupsi.
H. Surjono, S.H, M.H,. menyadari fungsi masyarakat sebagai sosio kontrol bisa diejawantahkan dalam berbagai hal yang positif. Dirinya mencoba berbagi peran dalam ekosistem sosial bermasyarakat dengan menghadirkan kepedulian kepada sesama melalui layanan Ambulance Gratis.
“Pandemik yang menyuguhkan ancaman nyata kematian adalah sinyal untuk mengetahui seberapa banyak orang yang memiliki kesadaran metafisik akan berhenti untuk berbuat korup.” Ungkap H. Surjono, S.H, M.H.
Memasuki tahun kedua pandemik COVID-19, bukannya mereda situasinya, malah kian mengerikan. India mempertontonkan kengerian itu. ‘Rumah sakit kadang kewalahan menerima permintaan layanan dari masyarakat yang membutuhkan. Apalagi kasus varian baru COVID-19.” Paparnya.
Di pengujung tahun 2021 lalu, Eropa kembali menjadi episentrum Covid-19 di dunia dengan hadirnya varian Omicron. Indonesia harus lebih waspada agar jangan sampai terjadi gelombang ketiga.
Kira-kira apa yang bisa dipetik dari situasi memprihatinkan akibat kesintasan pandemik ini? Semua orang mulai punya kesadaran etis sekaligus religius bahwa COVID-19 adalah ancaman kematian.
Kesadaran semacam itu tentu tidak berhenti sampai di situ. Manusia normal akan berusaha memperbanyak kebaikan kepada orang lain dan memperkecil tindakan-tindakan yang merugikan, mencelakakan orang lain.
Ancaman kematian yang terjadi pra pandemik adalah penyakit yang konvensional, yang menyerang ketahanan dan kekuatan tubuh melawan penyakit. Orang yang menghadapi ancaman kematian dengan penyakit konvensional biasanya hanya bisa tergolek di tempat tidur.
Keterbatasan fisik memaksa orang itu untuk tidak punya kekuatan melakukan kejahatan. Andaikan si sakit itu seorang yang berkuasa, dia tak lagi punya kemampuan menggelembungkan nilai proyek, menilap dana masyarakat.
Namun, ancaman kematian oleh COVID-19 tidak punya daya paksa seperti penyakit jantung, lever atau ginjal yang membuat orang bersangkutan lebih banyak di atas ranjang rumah sakit. Sebelum berubah menjadi ranjang kematian.
Dari ulasan diatas, H. Surjono, S.H, M.H,. mencoba mendeskripsikan ancaman kematian COVID-19 masih memungkinkan orang-orang yang sangat berkuasa, berkuasa, agak berkuasa bahkan kurang berkuasa untuk melakukan kejahatan seperti korupsi, misalnya.
Pertanyaannya adalah, masih adakah niat untuk berkorupsi di masa ketika banyak teman, saudara, tetangga, temannya teman, yang sebulan lalu masih bisa diajak bercanda bersama, bahkan masih bisa menulis artikel di koran, tiba-tiba dikabarkan tutup usia setelah berjuang melawan COVID dalam hitungan pekan, bahkan hari?
Orang-orang yang berbuat jahat atau korup karena keterpaksaan–misalnya kondisi ekonomi yang pas-pasan–di masa krisis sosial agaknya masih bisa dimaklumi. Tapi bagaimana dengan mereka yang sudah berkecukupan bahkan berkelimpahan tapi masih nekat mencuri harta negara di masa pandemik ini?
Pertanyaan seperti itu selalu mendapat jawab yang nisbi. Artinya, mereka yang berkelimpahan itu adalah kumpulan manusia yang punya latar belakang iman, sosial, psikis yang bervariasi.
“Kombinasi latar belakang itu akan melahirkan sosok-sosok yang tak seragam. Jadi akan selalu ada orang yang nekat untuk tetap korupsi di masa apa pun, dan ada orang yang menyadari bahwa hidupnya dalam ancaman kematian dan inilah saatnya untuk menjauhi yang munkar.’ Urai H. Surjono, S.H, M.H,.
“Pada akhirnya, seperti yang sudah dibuktikan oleh negara-negara yang sejarah birokrasi cukup panjang, korupsi hanya bisa diberantas dengan sistem administrasi kenegaraan yang transparan, dijaga oleh sistem politik yang matang, yang pilar-nya adalah penegakan hukum.” Pungkasnya [Eka].
Comment