WNMNews.TV, JAKARTA – Ketua Umum Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi Republik Indonesia, HM. Basri Budi Utomo, S.IP menyoroti operasi senyap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Jakarta dan Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, pada Rabu (12/01/22) malam.
Rekor tangkap tangan kembali digoreskan KPK atas OTT Bupati Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur. Belum hilang dari ingatan beberapa waktu lalu KPK juga melakukan OTT Walikota Bekasi Rahmat Effendi berkaitan dengan kasus dugaan suap pengadaan barang jasa dan jual beli jabatan.
Tak dapat dipungkiri, di awal pemberitaan operasi tangkap tangan (OTT) Walikota Bekasi, Jawa Barat dan Bupati Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, membuat publik bersukacita bahwa koruptor yang sebelumnya dianggap untouchable dapat dijadikan pesakitan.
Abah Nana, Ketua GNPK-RI Jabar mengungkapkan bahwa “Upaya spartan KPK dalam melakukan penegakan hukum maupun pencegahan korupsi sudah dilakukan secara maksimal. Hanya, harus diakui jika para koruptor tidak merasakan efek jera dari serangkaian OTT. Hukuman berlapis, aset dan kekayaan disita serta hak politik dibekukan koruptor masih jauh dari jera.”
“Sudah waktunya dilakukan “turun mesin” sistem pemerintahan sehingga secara drastis mengubah korupsi tindakan tidak menguntungkan (no profit), berisiko (high risk), memerlukan sumber daya besar (high budget), dan hukuman pasti akan diterima jika melakukannya.” Ungkap Abah Nana, sapaan akrab Ketua GNPK-RI Jabar.
Menangkal Korupsi
Pendekatan pemberantasan korupsi kerap menggunakan pendekatan moral di mana seseorang dianggap menyimpang dari ketentuan atau norma akibat lemahnya moralitas.
Basri Budi Utomo mengungkapkan, Gelombang operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK selalu menarik disimak. Akan tetapi, suguhan tontonan operasi dalam sebulan terakhir seharusnya membuat publik sedih. Mengapa? Ternyata oknum, baik penyelenggara negara maupun mitra usaha, yang terlibat tidak merasa gentar alias tak ada efek jera, sesuatu yang diharapkan muncul di awal operasi dilaksanakan.
Basri menuturkan, Penyikapan ini menunjukkan bahwa dampak efek jera dari operasi tidak terjadi. Bagaimana mungkin hal ini termanifestasi? Karenanya, operasi yang berjalan secara sporadis dan “musiman” belum membuat risiko menjadi lebih besar alias para pelaku tidak merasa rentan atau terancam.
Jika merunut formula bahwa terjadinya korupsi disebabkan atau didorong oleh pemahaman akan keuntungan besar (high profit), yang diperoleh dengan risiko kecil (low risk) dan sumber daya yang dikeluarkan (relatif) kecil (low budget), GNPK-RI mengusulkan hukuman perlu diperberat agar timbul efek jera, yakni Hukuman Mati bagi para Koruptor.
Referensi yang kerap dijadikan acuan adalah hukuman mati yang diyakini dapat meredam korupsi. Atau, hukuman pencabutan hak politik dan pemiskinan koruptor yang lazim digunakan di negara-negara Eropa Timur pascaruntuhnya tembok Berlin.
Basri menegaskan, “Belum munculnya efek jera disebabkan penindakan masih dalam skala terbatas dan dilakukan secara sporadis. Karena banyaknya oknum maka operasi tangkap tangan hanya mampu menangkap segelintir.”
Lanjut Basri, “Tanpa mengubah sistem insentif (godaan), peluang serta penegakan hukum yang terbatas dan terkadang kendur membuat efek jera tidak kunjung muncul. Perombakan sistem penyelenggaraan negara secara masif dan sistematis sangat mendesak dilakukan.”
“Saya sebagai Ketua Umum GNPK-RI menekankan, korupsi seyogianya dipandang sebagai rangkaian kejahatan terorganisasi dengan motif dan modus tidak sebatas memperkaya diri sendiri. Penguatan moral individu atau nilai-nilai keluarga penting, tetapi luput dalam menempatkan korupsi sebagai bagian integral dalam membangun fondasi kekuasaan politik dan ekonomi.”
“Perspektif demikian melampaui pemahaman yang memandang korupsi sebagai penyelewengan kekuasaan untuk mengeruk finansial, apalagi menyederhanakan sebagai masalah moralitas) saja, Jadi Hukuman Mati dipandang tepat membuat efek jera para koruptor selain memiskinkannya dan atau mencabut hak politiknya.” Tegas Basri.
Harus diakui, di Indonesia, perbaikan representasi politik dalam memerangi korupsi belum dicoba. Pada negara-negara di mana sistem politik mengalami transformasi, upaya pemberantasan korupsi bergandengan tangan dengan gerakan politik baru (new politics).
Pemberian “moratorium” bagi para penyelenggara “negara” yang terlibat dalam kejahatan politik/ekonomi semasa rezim sebelumnya atau dikenal dengan Lustration law, dimungkinkan karena adanya kolaborasi antara kelompok masyarakat sipil dan kelompok politik. Lustration law ini membatasi ruang gerak pelaku di masa lalu agar tidak mempunyai kewenangan dan peluang melakukan penyelewengan kekuasaan.
Dikutip dari Kompas.com, Kamis (13/1/2022). Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyampaikan “Perlu kami sampaikan bahwa benar KPK kemarin telah melakukan giat tangkap tangan terhadap penyelenggara negara di wilayah Penajam Paser Utara atas dugaan penerimaan suap dan gratifikasi,”
Ghufron mengkonfirmasi, salah satu yang terjaring dalam operasi itu adalah Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud. Hingga kini, tim KPK masih terus melakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang terjaring OTT tersebut.
Bupati Penajam Paser Utara terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (12/1/2022). Abdul Gafur ditangkap tim KPK di Jakarta bersama sejumlah orang. Dalam penangkapan ini, KPK total mengamankan 11 orang.
“Yang bersangkutan ditangkap di Jakarta beserta beberapa pihak lainnya,” ujar Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Kamis (13/1/2022). Selain di Jakarta, tim KPK juga melakukan operasi senyap tersebut di Kalimantan Timur.
Namun, KPK enggan memerinci total dan identitas pihak lain yang ditangkap bersama Abdul Gafur ataupun beberapa pihak lain yang ditangkap di Penajam Paser Utara.
Ali mengatakan, pihak-pihak yang terjaring OTT tersebut kini masih diperiksa di Gedung Merah Putih KPK dan di Kalimantan Timur.
“Ada yang sudah di K4 (Gedung Merah Putih KPK, Jakarta), ada juga di Kalimantan Timur,” kata Ali.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebutkan, penangkapan terhadap Bupati Penajam Paser Utara itu diduga terkait penerimaan suap dan gratifikasi.
“Giat tangkap tangan terhadap penyelenggara negara di wilayah Penajam Paser Utara atas dugaan penerimaan suap dan gratifikasi,” ujar Ghufron kepada Kompas.com.
Namun, KPK meminta masyarakat untuk bersabar menunggu penjelasan lebih lanjut dari lembaga antirasuah itu terkait perkambangan OTT tersebut.
“Karena itu, kami minta masyarakat bersabar dan memberi kesempatan kepada tim KPK untuk bekerja menyelidik kasus ini, selanjutnya nanti akan kami infokan secara lebih komprehensif,” tutur dia.
Penulis : Tim GNPK-RI
Editor : Eka Himawan
Comment